BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Penetapan
hukum dalam agama Islam harus didasari
dengan pijakan atau alasan yang disebut sumber hukum. Dengan berkembangnya
zaman, baik di bidang ekonomi, sosial politik, teknologi dan informasi,
adakalanya timbul permasalah-permasalahan baru. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu penetapan hukum terhadap masalah tersebut.
Pada
zaman Rosulullah SAW, permasalahan yang timbul dapat ditanyakan langsung kepada
Nabi SAW sebagai pengemban dan sumber hukum Islam. Namun setelah Nabi wafat,
kepada siapa kita bertanya? hanya al-Qur’an dan sunah Nabi SAW yang beliau
waritskan.
Dalam
makalah ini penyusun akan membahas masalah-masalah tersebut dengan mengemukakan
dalildalil al-Qur’an dan sunah.
2. Pembahasan Makalah
Dalam
makalah ini akan dibahas tentang “Sumber Dan Dalil Hukum Agama Islam Yang
Disepakati” yang menjadi judul makalah ini.
3. Metode Penulisan
Makalah
ini disusun dengan menggunakan metode literature atau kepustakaan yang
berhubungan dengan sumber-sumber hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sumber Dan Dalil
1. Pengertian Dalil
Dalam kajian
ilmu usul fiqh, para ulama usul mengartikan dalil secara etimologis dengan
“sesuatu yang dapat memberikan petunjuk
kepada apa yang dikehendaki.” Adapun secara terminologis yang dimaksud dengan
dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan
menggunakan pikiran yang benar untuk menentukan hukum syara’ yang bersifat ‘amali,
baik secara qot’i maupun secara zanni.
Dari pengertian
yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut
dalil hukm ialah: segala sesuatu yang dapat dijadikan landasan atau pijakan
yang dapat dipergunakan dalam upaya menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas
dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Oleh karena itu dalam ber-istinbat
(penetapan hukum) persoalan yang mendasar yang harus diperhatikan adalah
menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan dalam menetapkan
hukum syara’ dari suatu persoalan yang dihadapi.
2. Pengertian Sumber
Terhadap dalil
hukum ,ada sebutan lain di kalangan ulama ushul seperti istilah masadir al
ahkam,masadir al syari’ah ,masadir al tasyri atau yang diartikan sumber
hukum.Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat pengambilan atau
rujukan utama serta merupakan asal sesuatu.Sedangkan dalil atau yang
diistilahkan adillat al ahkam,ushul al ahkam,asas al tasyri dan adillat al
syariah mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai
alasan dalam menetapkan hukum syara.Dalam konteks ini Al Qur’an dan As Sunah
adalah merupakan sumber hukum dan sekaligus menjadi dalil hukum, sedangkan
selain dari keduanya seperti al ijma,al qiyas,dan lain lainnya tidak dapat
disebut sebagai sumber kecuali hanya sebagai dalil karena ia tidak dapat
berdiri sendiri.
Akan tetapi,
dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam
kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak
dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apayang disebut dengan dalil hukum adalah
dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apayang disebut dengan dalil hukum adalah
mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbat hukum selain Al
Quran dan as sunnah. Sebab, keduanya merupakan istilah teknis yang yang dipakai
oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan
atau dasar dalam istinbat hukum dan dalam prakteknya mencakup Al Quran,
as-sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber hukum lainnya. Oleh karena itu,
dikalangan ulama ushul masalah dalil hukum ini terjadi perhatian utama atau
dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat penting ketika mereka berhadapan
dengan persoalan-persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Dengan demikian
setiap ketetapan hukum tidak akan mempunyai kekuatan hujjah tanpa didasari oleh
pijakan dalil sebagai pendukung
ketetapan tersebut.
Keberadaan dalil
sebagai pijakan yang mendasari suatu ketetapan hukum mutlak harus diperhatikan
dan tidak bisa diabaikan. Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil
dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1. Al-Adillah Al-Ahkam Al-Manshushah atau
dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash.
Dalil-dalil hukum yang dikategorikan kepada bagian ini adalahAl Quran dan as
sunnah atau disebut pula dengan dalil naqli.
2. Al-Adillah Al-Ahkam ghoirul Manshushah
atau dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan oleh nash Al Quran
dan as sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan
penalaran ra’yu dan disebut pula dengan dalil aqli.
Adapun
dalil-dalil yang dikelompokkan kepada kategori terakhir ini meliputi Ijma,
Qiyas, Istihsan, Mashalih Mursalah, Istishab, Urf, Syarun Man Qablana dan Qaul
Shahabi. Ijma dan Qiyas hampir seluruh mazhab mempergunakannya, sedangkan
dalil-dalil yang keberadaannya menimbulkan perdebatan di kalangan ulama mazhab
ushul. Perbedaan ini muncul karena ketika ulama ushul tidak menemukan dalil
atau alasan yang mendasari suatu hukumdari Nash, maka mereka menggunakan ra’yu
mereka masing-masing dengan rumusan tersendiri.
Atas dasar ini
para ulama ushul di berbagai mazhab menyusun dan berpijak pada sistematika
istinbat yang mereka susun masing-masing secara berurutan dengan menempatkan
dalil-dalil ra’yu setelah Al Quran dan as sunnah.
B. Sumber Hukum Islam
1. Al-Qur’an
a. Pendekatan Etimologi Dan Terminologi
Al-Qur’an menurut etimiologis adalah bacaan,
kalamullah, kata al-Qur’an berasal dari kata kerja qara’a yang berarti membaca
dan bentuk masdarnya adalah qur’an yang berarti bacaan. Al-Qur’an dengan makna bacaan
dinyatakan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat, antara lain dalam surat
al-Qiyamah, al-Baqarah dan lain sebagainya.
Sedangkan
Al-Qur’an menurut terminologis adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai
mu’jizat bagi Rasulallah Muhammad SAW, pedoman hidup bagi setiap muslim dan
sebagai kolektor serta penyempurnaan terhadap kitab-kitab Allah sebelunnya yang
bernilai abadi dan bernilai ibadah bagi yang membaca, menghapal dan
mengamalkannya.
Para ulama
berbeda pendapat tentang hakikat al-Qur’an. Imam al-Ghazali menjelaskan dalam
kitab al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, bahwa hakikat al-Qur’an adalah kalam yang
berdiri pada Zat Allah SWT, yaitu salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah
yang Qadim. Menurut mutakallimin (ahli teologi Islam), hakikat al-Qur’an ialah
makna yang berdiri pada Zat Allah
SWT. Adapun menurut golongan Muktazilah, hakikat al-Qur’an adalah huruf-huruf
dan suara yang diciptakan Allah SWT. yang setelah berwujud lalu hilang lenyap.
Dengan pendapat ini kaum Muktazilah memandang al-Qur’an sebagai makhluk
(ciptaan) Allah SWT. karena itu, al-Qur’an bersifat baru, tidak qadim.
Sebagai
mu’jizat, Al-Qur’an telah menjadi salah satu sebab masuknya orang-orang Arab di
zaman Rosullallah kedalam agama Islam, dan menjadi sebab penting bagi masuknya
orang-orang penting sekarang, dan bagi masa yang akan datang.
Mu’zijat menurut
Imam as-Suyuti adalah sesuatu diluar kebiasaan yang disertai dengan adanya
tantangan. Menurut DR. Muhammad Quraish Shihab sesuatu dinamakan mu’zijat
apabila memenuhi 4 unsur yaitu:
1. Suatu hal yang ada di luar kebiasaan
2. Nampak pada diri seorang Nabi
3. Disertai dengan adanya tantangan
4. Sesuatu yang tidak sanggup ditantang
orang
Dari segi
bahasa, ulama sepakat al-Qur’an memiliki uslub (gaya bahasa) yang tinggi,
fasahah (ungkapan kata yang jelas) dan balaghah (kefasihan lidah) yang dapat
mempengaruhi jiwa pembaca dan pendengarnya yang memiliki rasa bahasa Arab yang
tinggi.
Dari segi
kandungan isi mu’zijat al-Qur’an dapat dilihat dilihat dari 3 aspek:
1. Merupakan isyarat ilmiah. Al-Qur’an
banyak berisi informasi ilmu pengetahuan walaupun hanya dalam bentuk isyarat
ilmiah, seperti informasi mengenai ilmu pengetahuan alam. Antara lain dikatakan
bahwa bumi dan langit sebenarnya merupakan suatu yang padu dan setelah terpisah
dijadikan segala sesuatu yang hidup. (Q.S. 21;30)
2. Merupakan sumber hukum. Al-Qur’an telah
memberikan andil yang kuat dalam pertumbuhan hukum, bahkan al-Qur’an tetap
merupakan produk hukum yang ideal hingga masa kini. Al-Qur’an merupakan sumber
hukum utama dan pertama dalam agama Islam.
3. Menerangkan suatu ‘ibrah (teladan) dan
kabar ghaib, baik yang terjadi pada masa lalu, sekarang maupun yang akan
datang. Al-Qur’an mengandung berita-berita tentang hal-hal yang ghaib, seperti
surga, neraka, hari kiamat dan hari perhitungan. Selain itu al-Qur’an juga
banyak mengungkapkan kisah-kisah para Nabi dan umat masa lampau, seperti kisah
Fir’aun, kisah kaum ‘Ad dan Samud, kisah Nabi Yusuf AS. dan Nabi Ibrahim AS. al-Qur’an
banyak pula menyinggung masalah-masalah
yang belum terjadi di masanya, seperti kemenangan bangsa Romawi (Q.S. 30;1-3)
Ayat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan,
meyakinkan kita bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, tidak mungkin ciptaan
manusia apalagi ciptaan Nabi Muhammad SAW. yang ummi, yang hidup pada awal abad
keenam masehi (571 – 632 M). Allah SWT. berfirman :
(Q.S. 7;158)
Demikian juga dengan ayat-ayat yang berhubungan
dengan sejarah tentang kekuasaan Mesir, dapat menberikan keyakinan kepada kita
bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah bukan ciptaan manusia. Ayat –ayat yang
berhubungan dengan ramalan-ramalan khusus yang kemudian dibuktikan oleh sejarah
seperti tentang bangsa romawi dan lain-lain, menjadi bukti kepada kita bahwa
A-Qur’an adalah wahyu Allah SWT. sebagaimana firman-Nya:
(Q.S. 30;2-4), (Q.S. 5;14)
Al-Qur’an adalah
mu’jizat besar sepanjang masa, keindahan bahasa dan susunan katanya tidak dapat
diketemukan pada buku-buku bahasa Arab lainnya. Gaya bahasa yang luhur namun
mudah dimengerti adalah merupakan cirri gaya bahasa al-Qur’an karena gaya
bahasa demikian itulah, Umar bin khathab masuk Islam setelah mendengar
al-Qur’an awaql surat Thaha yang dibaca adiknya.
Dan al-Qur’an
mennyatakan bahwa sebab seseorang yang tidak menerima kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu Illahi
adalah salah satu diantara dua sebab, yaitu:
Ø Tidak berfikir dengan jujur dan
sungguh-sungguh;
Ø Tidak sempat mendengar dan mengetahui
al-Qur’an secara baik. Sebagaimana firman-Nya:
(Q.S.
67;10), (Q.S. 4;82)
Sebagai jaminan al-Qur’an itu sebagai wahyu Allah,
maka al-Qur’an sendiri menantang setiap manusia, jin dan semua mahluk yang ada
di jagat raya ini untuk membuat satu surat saja yang senilai dengan al-Qur’an.
Firman Allah:
(Q.S. 67;10), (Q.S. 17;28)
Sebagai pedoman
hidup, al-Qur’an banyak mengemukakan pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum
pengaturab hidup dalam hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan
manusia dan mahluk lainnya.
Didalam
al-Qur’an terdapat peraturan yang mereka tulis, mereka hafalkan dan sekaligus
mereka amalkan.Pada awal pemerintahan khalifah yang pertama dari Khulafaur
Rasyidin, yaitu Abu Bakar Shidiq, al-Qur’an telah dikumpulkan dalam mushhaf
tersendiri. Dan pada zaman khalifah yang ketiga, Ustman bin Affan, al-Qur’an
telah diperbanyak. Dan Alhamdulillah al-Qur’an yang asli sampai saat ini masih
ada dan terawatt dengan baik.
Dalam
perkembangan selanjutnya, tumbuh pula usaha-usaha untuk menyempurnakan
cara-cara penulisan, penyeragaman bacaan, dalam rangka menghindari adanya
kesalahan-kesalahan bacaan maupun tulisan. Karena penulisan al-Qur’an pada masa
pertama tidak memakai tanda baca (tanda titik dan harakat), maka al-Khalil
mengambil inisiatif untuk membuat tanda-tanda yang baru, yaitu huruf ‘waw’ yang
kecil diatas untuk tanda dhamah, huruf ‘alif’ kecil diatas untuk tanda fathah,
‘alif’ kecil dibawah untuk tanda kasrah, kepala huruf ‘sin’ untuk tanda siddah,
kepala ‘ha’ untuk sukun, dan kepala ‘ain’ untuk hamzah.kemudian tanda-tanda ini
dipermudah, dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang kita saksikan
sekarang.
Perkembangan
selanjutnya tumbuhlah beberapa macam tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh ulama
Islam, yang sampai saat ini tidak kurang dari 50 macam tafsir al-Qur’an. Juga
telah tumbuh bermacam disiplin ilmu untuk menbaca dan membahas al-Qur’an.
b. Pembahasan Ilmu-ilmu Yang Berhubungan
Dengan Al-Qur’an.
Ilmu-ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan
dengan al-Qur’an, antara lain:
1. Ilmu Mawatil Nuzul, yaitu ilmu yang
membahas tentang tempat-tempat turunnya
al-Qur’an.
2. Ilmu Asbabul Nuzul, yaitu ilmu yang
membahas tentang sebab-sebab turunnya al-Qur’an.
3. Ilmu Tajwid, yaitu ilmu tentang membahas
tentang teknik membaca al-Qur’an.
4. Ilmu Wajuh wa Nadhar, yaitu ilmu yang
membahas tentang kalimat yang memiliki banyak arti dan makna.
5. Ilmu Amtsalil Qur’an, yaitu ilmu yang
membahas tentang perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur’an.
6. Ilmu Aqsamil Qur’qn, yaitu ilmu yang
membahas tentang maksud-maksud sumpah Tuhan dalam al-Qur’an.
7. Gharibil Qur’qn, yaitu ilmu yang
membahas tentang kalimat-kalimat yang asing artinya dalam al-Qur’an.
c. Isi Dan Kandungan Al-Qur’an
Al-Qur’an
terdiri dari 114 surat dan 6666 ayat, 91 surat yang turun di Mekkah dan 23
surat lainnya turun di Madinah. Adapula yang berpendapat, 86 surat turun di
Makkah dan 28 surat turun di Madinah. Menurut perhitungan ulama Kuffah, seperti
Abdurrahman as-Salmi, al-Qur’an terdiri dari 6.236. Menurut as-Suyuti, terdiri
dari 6.000 lebih. Sedangkan menurut al-Alusi, menyebutkan bahwa jumlah ayat
al-Qur’an sekitar 6.616 ayat. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan adanya
perbedaan pandangan di antara mereka tentang kalimah Basmalah pada awal surat dan Fawatih as-Suwar (kata-kata pembuka
surat), seperti Yasin, Alif Lam, Mim, dan Ha Mim. Ada yang menggolongkan kata-kata
pembuka tersebut sebagai ayat dan ada pula yang tidak menggolongkannya sebagai
ayat.
Surat yang turun
di Mekkah dinamakan surat Makkiyah, masa turunnya selama 12 tahun, 5 bulan, 13
hari yang dimulai pada tanggal 17 Ramadhan pada saat usia Nabi 40 tahun. Surat
Makkiyah umumnya pendek-pendek, menyangkut prinsif kepada manusia. Sedangkan
yang turunnya di Madinah dinamakan surat Madaniyah, yang pada umumnya suratnya
panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan
seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan yang lainnya.
Atas inisiatif
para ulama, maka kemudian al-Qur’an dibagi-bagi menjadi 30 juz, dalam tiap-tiap
juz dibagi-bagi menjadi setengah juz, seperempat juz, makro dan lain
sebagainya.
Dari sejumlah
ayat yang ada dalam al-Qur’an, 4.726 ayat adalah ayat-ayat Makkiyah. Selebihnya
adalah ayat-ayat Madaniyah. Apabila dilihat dari segi kandungan isinya,
ayat-ayat Makkiyah, yang merupakan tiga
perempat dari isi al-Qur’an, pada umumnya mengandung keterangan dan
penjelasan tentang keimanan, perbuatan baik dan jahat, pahala bagi orang yang
beriman dan beramal shaleh, siksaan bagi orang yang kafir dan durhaka,
kisah-kisah para Rosul dan Nabi, cerita dari umat terdahulu, dan berbagai
perumpamaan untuk dijadikan teladan dan ibarat. Adapun ayat-ayat Madaniyah pada
umumnya menjelaskan hal-hal yang erat hubungannya dengan hidup kemasyarakatan
atau masalah-masalah muamalah, antara lain hukum-hukum yang berkenaan dengan
perkawinan, waris, perjanjian dan perang.
Secara
keseluruhan, isi al-Qur’an dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) pembahasan
pokok, yaitu:
1. Pembahasan mengenai prinsif-prinsif
akidah (keimanan)
2. Pembahasan yang menyangkut
prinsif-prinsif ibadah
3. Pembahasan yang menyangkut
prinsif-prinsif syariat
d. Nama-nama Al-Qur’an.
Nama-nama
al-Qur’an pada umumnya telah dijelasdkan dalam al-Qur’an itu sendiri, berikut
ini nama-nama al-Qur’an dan ayat yang menyebutkannya.
1. Al-Kitab :
tulisannya lengkap
2. Al-Furqan :
memisahkan yang hak dan yang bathil.
3. Al-Mau’idah :
nasihat
4. Al-Hikmah :
kebijaksanaan
5. Al-Khair :
kebaikan
6. Al-huda :
yang memimpin
7. Al-Hukmu :
keputusan
8. Asy-Syifa :
obat
9. Adz-Dzikru :
peringatan
10. Ar-Ruh :
ruh
11.
Al-Muththaharah : yang
disucikan
e. Nama-nama Surat Al-Qur’an.
Susunan
surat-surat al-Qur’an yang ada sekarang berdasarkan kepada bacaan Nabi setelah
melaksanakan haji wada adalah sebagai berikut:
No. Surat
|
Nama Surat
|
Arti Surat
|
Jenis Surat
|
Jumlah Ayat
|
1.
|
Al-Fatihah
|
Pembukaan
|
Makkiyah
|
7
|
2.
|
Al-Baqarah
|
Sapi betina
|
Madaniyah
|
286
|
3.
|
Ali Imran
|
Keluarga Imran
|
Madaniyah
|
200
|
4.
|
An-Nisa’
|
Wanita
|
Madaniyah
|
176
|
5.
|
Al-Ma’idah
|
Hidangan
|
Madaniyah
|
120
|
6.
|
Al-An’am
|
Binatang ternak
|
Makkiyah
|
165
|
7.
|
Al-‘Araf
|
Tempat tinggi
|
Makkiyah
|
206
|
8.
|
Al-Anfal
|
Rampasan perang
|
Madaniyah
|
75
|
9.
|
At-Taubah
|
pengampunan
|
Madaniyah
|
129
|
10.
|
Yunus
|
Nabi Yunus
|
Makkiyah
|
109
|
11.
|
Hud
|
Hud
|
Makkiyah
|
123
|
12.
|
Yusuf
|
Nabi Yusuf
|
Makkiyah
|
111
|
13.
|
Ar-ra’d
|
guruh
|
Madaniyah
|
43
|
14.
|
Ibrahim
|
Nabi Ibrahim
|
Makkiyah
|
52
|
15
|
Al-Hijr
|
batu gunung
|
Makkiyah
|
99
|
16.
|
An-Nahl
|
lebah
|
Makkiyah
|
128
|
17.
|
Al-Isra
|
perjalanan malam hari
|
Makkiyah
|
111
|
18.
|
Al-Kahfi
|
gua
|
Makkiyah
|
110
|
19.
|
Maryam
|
Siti maryam
|
Makkiyah
|
98
|
20.
|
Thaha
|
Thaha
|
Makkiyah
|
135
|
21.
|
Al-Anbiya
|
Para nabi
|
Makkiyah
|
112
|
22.
|
Al-Hajj
|
haji
|
Madaniyah
|
78
|
23.
|
Al-Mu’minun
|
Orang yang beriman
|
Makkiyah
|
118
|
24.
|
An-Nur
|
cahaya
|
Madaniyah
|
64
|
25.
|
Al-furqan
|
pembeda
|
Makkiyah
|
77
|
26.
|
Asy-syu’ara
|
Para penyair
|
Makkiyah
|
277
|
27.
|
An-Naml
|
semut
|
Makkiyah
|
93
|
28.
|
Al-qashosh
|
Cerita-cerita
|
Makkiyah
|
88
|
29.
|
Al-Ankabut
|
Laba-laba
|
Makkiyah
|
69
|
30.
|
Ar-Ruum
|
Bangsa romawi
|
Makkiyah
|
60
|
31.
|
lukman
|
lukman
|
Makkiyah
|
34
|
32.
|
As-Sajdah
|
sujud
|
Makkiyah
|
30
|
33.
|
Al-Ahzab
|
Golongan yang bersekutu
|
Madaniyah
|
73
|
34.
|
Saba’
|
Kaum saba’
|
Makkiyah
|
54
|
35.
|
Fathir
|
pencipta
|
Makkiyah
|
45
|
36.
|
Ya Sin
|
Ya sin
|
Makkiyah
|
83
|
37.
|
Ash-Shafat
|
Yang bershaf
|
Makkiyah
|
182
|
38.
|
Shod
|
Shod
|
Makkiyah
|
88
|
39.
|
Az-Zumar
|
rombongan
|
Makkiyah
|
75
|
40.
|
Al-Mu’min
|
Orang yang beriman
|
Makkiyah
|
85
|
41.
|
Fushshilat
|
Yang dijelaskan
|
Makkiyah
|
54
|
42.
|
Asy-Syura
|
Musyawarah
|
Makkiyah
|
53
|
43.
|
Az-Zukhruf
|
Perhiasan
|
Makkiyah
|
89
|
44.
|
Ad-Dukhon
|
Kabut
|
Makkiyah
|
59
|
45.
|
Al-Zatsiah
|
Yang berlutut
|
Makkiyah
|
37
|
46.
|
Al-Akhqaf
|
Bukit-bukit pasir
|
Makkiyah
|
35
|
47.
|
Muhammad
|
Nabi Muhammad
|
Makkiyah
|
38
|
48.
|
Al-Fath
|
Kemenangan
|
Madaniyah
|
29
|
49.
|
Al-Hujarat
|
Kamar-kamar
|
Madaniyah
|
18
|
50.
|
Qaf
|
Qaf
|
Makkiyah
|
45
|
51.
|
Adz-Dzariat
|
Angin yang menerbangkan
|
Makkiyah
|
60
|
52.
|
At-Thur
|
Bukit
|
Makkiyah
|
49
|
53.
|
An-Najm
|
Bintang
|
Makkiyah
|
62
|
54.
|
Al-Qamar
|
Bulan
|
Makkiyah
|
55
|
55.
|
Ar-Rahman
|
Yang maha pemurah
|
Makkiyah
|
78
|
56.
|
Al-Waqi’ah
|
Hari kiamat
|
Makkiyah
|
96
|
57.
|
Al-Hadid
|
Besi
|
Madaniyah
|
29
|
58.
|
Al-Mujadalah
|
Wanita yang menggugat
|
Madaniyah
|
22
|
59
|
Al-Hasyr
|
Pengusiran
|
Madaniyah
|
24
|
60.
|
Al-Mumtahanah
|
Wanita yang diuji
|
Makkiyah
|
13
|
61.
|
Ash-Shaff
|
Barisan
|
Madaniyah
|
14
|
62.
|
Al-Jumu’ah
|
Hari jum’at
|
Madaniyah
|
11
|
63.
|
Al-Munafiqun
|
Orang-orang munafik
|
Madaniyah
|
11
|
64.
|
At-Taghabun
|
Hari dinampakan kesalahan
|
Madaniyah
|
18
|
65.
|
Ath-Thalak
|
Talak
|
Madaniyah
|
12
|
66.
|
At-Tahrim
|
Mengharamkan
|
Madaniyah
|
12
|
67.
|
Al-Mulk
|
Kerajaan
|
Makkiyah
|
30
|
68.
|
Al-Qalam
|
Kalam
|
Makkiyah
|
52
|
69.
|
Al-Haqqah
|
Hari kiamat
|
Makkiyah
|
53
|
70.
|
Al-Ma’arij
|
Tempat-tempat naik
|
Makkiyah
|
44
|
71.
|
Nuh
|
Nabi Nuh
|
Makkiyah
|
28
|
72.
|
Al-Jinn
|
Jin
|
Makkiyah
|
28
|
73.
|
Al-Muzzammil
|
Orang yang berselimut
|
Makkiyah
|
20
|
74.
|
Al-Muddatsir
|
Orang yang berkemul
|
Makkiyah
|
56
|
75.
|
Al-Qiamah
|
Hari kiamat
|
Makkiyah
|
40
|
76.
|
Al-Insan
|
Manusia
|
Makkiyah
|
31
|
77.
|
Al-Mursalat
|
Malaikat-malaikat yang diutus
|
Makkiyah
|
50
|
78.
|
An-Naba’
|
Berita besar
|
Makkiyah
|
40
|
79.
|
An-Nazi’at
|
Malaikat-malaikat yang mencabut
|
Makkiyah
|
46
|
80.
|
‘Abasa
|
Yang bermuka masam
|
Makkiyah
|
40
|
81.
|
At-Takwir
|
Menggulung
|
Makkiyah
|
29
|
82.
|
Al-Infithar
|
Terbelah
|
Makkiyah
|
19
|
83.
|
Al-Muthaffifin
|
Orang-orang yang curang
|
Makkiyah
|
36
|
84.
|
Al-Insyiqaq
|
Terbelah
|
Makkiyah
|
25
|
85.
|
Al-Buruj
|
Gugusan bintang
|
Makkiyah
|
22
|
86.
|
Ath-Thariq
|
Yang dating di malam hari
|
Makkiyah
|
17
|
87.
|
Al-‘A’la
|
Yang paling tinggi
|
Makkiyah
|
1
|
88.
|
Al-Ghasyiyah
|
Hari pembalasan
|
Makkiyah
|
26
|
89.
|
Al-Fajr
|
Fajar
|
Makkiyah
|
30
|
90.
|
Al-Balad
|
Negeri
|
Makkiyah
|
20
|
91.
|
Asy-Syams
|
Matahari
|
Makkiyah
|
15
|
92.
|
Al-Layl
|
Malam
|
Makkiyah
|
21
|
93.
|
Adh-Dhuha
|
Waktu matahari sepenggalahan
naik
|
Makkiyah
|
11
|
94.
|
Al-Insyirak
|
Melapangkan
|
Makkiyah
|
8
|
95.
|
At-Tin
|
Buah tin
|
Makkiyah
|
8
|
96.
|
Al-‘Alaq
|
Segumpal darah
|
Makkiyah
|
19
|
97.
|
Al-Qadr
|
Kemuliaan
|
Makkiyah
|
5
|
98.
|
Al-Bayyinah
|
Bukti
|
Makkiyah
|
8
|
99.
|
Al-Zalzalah
|
Kegoncangan
|
Makkiyah
|
8
|
100.
|
Al-Adiyat
|
Kuda perang yang berlari
kencang
|
Makkiyah
|
11
|
101.
|
Al-Qari’ah
|
Hari kiamat
|
Makkiyah
|
11
|
102.
|
At-Takatsur
|
Bermegah-megahan
|
Makkiyah
|
8
|
103.
|
Al-‘Ashr
|
Masa
|
Makkiyah
|
3
|
104.
|
Al-Humazah
|
Pengumpat
|
Makkiyah
|
9
|
105.
|
Al-Fil
|
Gajah
|
Makkiyah
|
5
|
106.
|
Al-Quraisy
|
Suku quraisy
|
Makkiyah
|
4
|
107.
|
Al-Ma’un
|
Barang-barang yang berguna
|
Makkiyah
|
7
|
108.
|
Al-Kautsar
|
Nikmat yang banyak
|
Makkiyah
|
3
|
109.
|
Al-Kafirun
|
Orang-orang kafir
|
Makkiyah
|
6
|
110.
|
An-Nashr
|
Pertolongan
|
Madaniyah
|
3
|
111.
|
Al-Lahab
|
Gejolak api
|
Makkiyah
|
5
|
112.
|
Al-Ikhlas
|
Memurnikan ke-esaan Allah
|
Makkiyah
|
4
|
113.
|
Al-Falaq
|
Waktu subuh
|
Makkiyah
|
5
|
114.
|
An-Nas
|
manusia
|
Makkiyah
|
6
|
2. As-Sunnah (Al-Hadits)
a. Pengertian
Secara
etimologis hadits dapat diartikan: baru, tidak lama, ucapan, pembicaraan,
cerita. Menurut ahli hadits: segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi
Muhammad SAW. atau segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. berupa
ucapan, perbuatan, takrir, maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Menurut ahli usul fiqh: segala perkataan,
perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang bersangkut-paut dengan hukum.
Istilah
lain untuk sebutan hadits ialah sunah, kabar dan asar. Menurut sebagian ulama,
cakupan sunah lebih luas karena ia diberi pengertian segala yang dinukilkan
dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, maupun pengajaran,
sifat, kelakuan, perjalanan hidup dan baik itu terjadi sebelum masa kerasulan
maupun sesudahnya. Selain itu titik berat penekanan sunah adalah kebiasaan
normatif Nabi SAW.
Kabar
yang berarti berita atau warta, selain dinisbatkan kepada Nabi SAW, bias juga
kepada sahabat dan tabi’in. dengan denikian kabar lebih umum dari hadits karena
termasuk di dalamnya semua riwayat yang bukan dari Nabi SAW. asar yang juga
sebagai nukilan, lebih sering digunakan untuk sebutan bagi perkataan sahabat
Nabi SAW, meskipun kadang-kadang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Dalam lingkup
pengertian yang sudah dijelaskan, kata “tradisi” juga dipakai sebagai padanan
kata hadits.
Perbedaan
pengertian yang diberikan tentang hadits dan tentang pengertian kata yang
semaksud dengannya (sunah, kabar, asar) disebabkan adanya perbedaan sudut
pandang para ulama dalam melihat Nabi Muhammad SAW dan peri kehidupannya. Ulama
hadits melihat Nabi SAW sebagai pribadi panutan umat manusia. Ulama usul fiqh
melihatnya sebagai pengatur undang-undang
dan pencipta dasar-dasar untuk berijtihad. Sedangkan para fukaha (ahli fiqh) melihatnya sebagai pribadi yang
seluruh perbuatan dan perkataannya menunjuk pada hukum agama (syara’).
Perbedaan sudut pandang tersebut membawa pengertian hadits pada perbedaan
pengertian, baik yang memberi penekanan yang amat terbatas dan tertentu, maupun
yang memahaminya dengan cakupan yang lebih luas asal saja itu dinukilkan dari
Nabi SAW.
Istilah
hadits juga dikenal dalam teologi Islam. Dalam bidang ini kata hadits (jamaknya hawaadits) digunakan untuk
pengertian suatu wujud yang sebelumnya tidak ada atau sesuatu yang tidak
azali/tidak kekal.
b. Jenis Hadits Berdasarkan Sumbernya
Dilihat dari
segi sumbernya, hadits dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. Hadits Qudsi
2. Hadits Nabawi
Hadits qudsi,
yang juga disebut dengan istilah hadits Ilahi atau hadits Rabbani, adalah suatu
hadits yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW, kemudian
Nabi SAW menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya sendiri serta
menyandarkannya kepada Allah SWT. dengan kata lain, hadits qudsi ialah hadits
yang maknanya berasal dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi
Muhammad SAW. sedangkan hadits Nabawi yaitu hadits yang lafal dan maknanya
berasal dari Nabi SAW sendiri.
c. Macam-macam Sunah (hadits)
Sunah atau
hadits dapat dibagi kepada beberapa macam, yaitu:
Ø Ditinjau dari segi bentuknya
1. Fi’li yaitu perbuatan Nabi
2. Qauli yaitu perkataan Nabi
3. Taqriri yaitu perbuatan sahabat Nabi
yang disaksikan oleh Nabi, tetapi Nabi tidak menegurnya.
Ø Ditinjau dari segi orang yang
menyampaikannya
1. Hadits Mutawatir
2. Hadits Mansyur
3. Hadits Ahad
Ø Ditinjau dari segi kualitasnya
1. Hadits Shahih
2. Hadits Hasan
3. Hadits Dlo’if
4. Hadits Maudlu
Ø Ditinjau dari segi orang yang
berperannya
1. Hadits Marfu
2. Hadits mauquf
3. Hadits Maqtu
Ø Ditinjau dari segi jenis, sifat, redaksi
dan lainnya
1. Hadis Mu’an’an
2. Hadits Mu’anna
3. Hadits Awamir
4. Hadits Nawahi
5. Hadits Munqathi
d. Kitab-kitab Hadits
Para ulama pada
umumnya menerima 6 (enam) kitab hadits sebagai kitab standar. Keenam kitab
tersebut dinamakan al-Kutub as-Sittah atau al-Kutub as-Shihhah. Secara
berturut-turut peringkat al-Kutub as-Sittah
adalah:
1. Shahih al-Bukhari, memuat 7.275 hadits,
merupakan hasil saringan dari 600.000 hadits.
2. Shahih Muslim, memuat 4.000 hadits,
hasil saringan dari 300.000 hadits.
3. Sunan Abi Dawud, memuat 4.800 hadits,
hasil saringan dari 500.000 hadits
4. Sunan at-Tirmizi.
5. Sunan an-Nasa’i, memuat 5.761 hadits.
6. Sunan Ibn Majah.
e. Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum
Islam
Kedudukan hadits
terutama sebagai sumber hukum Islam, sejak zaman yang masih dini sudah
dipersoalkan. Imam Syafi’i yang digelari Nashir al-Hadits (pembela hadits),
pernah menyebutkan adanya pendapat yang menolak hadits, mereka enggan
mengamalkannya atau bahkan menolak dengan dalih bahwa al-Qur’an sudah cukup
sebagai sumber yang bersifat universal dan umum.
Ulama-ulama yang menempatkan kedudukan hadits pada
tingkat kedua setelah al-Qur’an mendasarkan pendiriannya atas dalil-dalil
al-Qur’an sebagai berikut:
(Q.S. 59;7), (Q.S. 3;132), (Q.S.
24;63)
BAB III
KESIMPULAN
Hukum merupakan
efek yang timbul dari perbuatan yang diperintahkan oleh Allah SWT. Hukum juga
merupakan khitab atau perintah Allah SWT yang menuntut mukallaf untuk
mengerjakan atau memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan, atau
menjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain.
Adapun pembagian hukum syara’ adalah
sebagai berikut:
1. Ijab (wajib)
2. Mandub (sunah)
3. Makruh
4. Mubah
5. Haram
Dalam perdebatan
para ulama untuk menetapkan hukum Islam, jika ada pendapat yang diajukan tanpa
landasan hukum, maka fatwa hukum yang dihasilkan dituduh tahakkum (menentukan hukum sendiri tanpa dalil) atau tasyri bi al-hawa (menetapkan hukum
berdasarkan hawa nafsu atau secara subjektif). Oleh sebab iu dalam kitab-kitab
fiqh disebutkan bahwa setiap pendapat yang dikemukakan senantiasa dibarengi
dengan hujjah.
Hujjah bisa
berupa ayat al-Qur’an, hadits Nabi SAW, dan sebagainya. Biasanya seorang
mujtahid, dalam mengemukakan hujjah, tidak cukup hanya menggunakan salah satu
dalil saja, misalnya al-Qur’an saja, tetapi menyertakan hadits-hadits Nabi SAW,
ijma’, qiyas dan lain sebagainya. Namun ijma’ qiyas dan yang lainya sifatnya
hanyalah sebagai hujjah pendukung bagi ayat al-qur’an dan hadits-hadits yang
dikemukakan.
Al-Qur’an dan
sunah sebagai sumber hukum Islam yang utama harus senantiasa dipegang oleh
seseorang yang mengemukakan pendapatnya. Artinya, hujjah yang dikemukakan untuk
mendukungnya atau menetapkan suatu hukum dalam Islam harus didasarkan kepada
al-Qur’an dan sunah. Ijma, qiyas dan metode penetapan hukum lainnya yang dianut
oleh berbagai mazhab tidak dapat berdiri sendiri tanpa didasarkan kepada kedua
sumber hukum Islam tersebut.
Hujjah atau dalil yang disepakati
para ulama dalam menetapkan hukum Islam
adalah:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunah (hadits)
3. Ijma’
4. Qiyas
Adapun istihsan, al-maslahah al-mursalah, ‘urf, sad az-zari’ah,
istishab dan sebagainya, adalah hujjah yang tidak disepakati oleh seluruh
ulama.